Rabu, 25 Juni 2014

makna syahadatain



بسم الله الرحمن الرحيم

makna syahadatain

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلاَمُ، وَعَمُوْدُهُ الصَّلاَةُ، وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
"Pokok perkara adalah Islam, tiangnya shalat, dan puncaknya adalah berjihad." (HR. Tirmidzi, ia berkata, "Hasan shahih,")
بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَحَجِّ الْبَيْتِ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
"Islam dibangun di atas lima (dasar); bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat
(lima waktu), menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.  (HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa'i dari Ibnu Umar)

 
Dalam kedua hadits di atas Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengumpamakan agama Islam seperti sebuah bangunan. pondasinya adalah syahadat, tiang-tiangnya adalah lima rukun di atas; dimana tanpa tiang-tiang tersebut bangunan Islam tidak dapat berdiri tegak. Sedangkan atapnya adalah jihad fii sabilillah. Adapun ajaran Islam yang lain ibarat penyempurna bangunan tersebut, oleh karena itu, jika penyempurna itu tidak dikerjakan, maka bangunan masih tetap tegak meskipun kurang sempurna, berbeda jika yang ditinggalkan adalah rukun Islam di atas, maka bangunan Islam akan segera roboh, terutama sekali adalah jika tidak ada syahadat dan shalat, yang menjadi pondasi dan tiang utama bangunan tersebut.
Rukun Islam yang pertama adalah bersyahadat “Laailaahaillallah & Muhammad Rasulullah”. Dengan dua kalimat ini seorang non muslim menjadi muslim (orang Islam). Ia adalah puncaknya iman dan yang paling rendahnya adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu orang lain dari jalan-. Namun demikian, banyak sekali orang yang tidak mengetahui maknanya,   sehingga tidak heran jika kita melihat di antara mereka ada yang malah mengerjakan perbuatan yang membatalkan dua kalimat ini (seperti melakukan syirk akbar) atau mengurangi kesempuraannya (seperti melakukan syirk asghar). Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengetahui maknanya.
Sebelum mengenal makna “Laailaahaillallah”, selayaknya kita mengetahui makna syahadat (bersaksi) itu sendiri.
Syahadat (Bersaksi) artinya mengakui dan meyakini. Sehingga, jika seseorang bersaksi, maka maksudnya adalah ia mengakui dengan lisannya dan meyakini dengan hatinya.
Sedangkan makna Laailaahaillallah adalah “Laa ma’buuda bihaqqin illallah”, yakni tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Hal ini mengharuskan kita meniadakan sesembahan selain-Nya dan menetapkan bahwa ibadah hanya untuk Allah saja.
Apabila seseorang telah bersaksi (mengakui dan meyakini) Laailaahaillallah, maka dia tidak boleh menyembah atau mengarahkan ibadah kepada selain Allah, dia tidak boleh ruku’ dan sujud kepada selain Allah, dia tidak boleh berdoa kepada selain Allah, dia tidak boleh bertawakkal kepada selain Allah, dia tidak boleh meminta pertolongan (dalam hal yang tidak disanggupi makhluk) kepada selain Allah, dia tidak boleh berharap kepada selain Allah, dia tidak boleh berkurban/menyembelih untuk selain Allah dan mengarahkan ibadah lainnya kepada selain Allah Ta’ala.
Adapun bersaksi “Muhammad Rasuulullah” memiliki dua rukun, yaitu bersaksi bahwa Beliau adalah hamba Allah dan bersaksi bahwa Beliau adalah rasul/utusan Allah.
Dalam persaksian “Muhammad adalah hamba Allah”, menunjukkan tidak bolehnya kita bersikap ifrath (berlebih-lebihan terhadap Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam), kita  tidak boleh menempatkan Beliau melebihi penempatan Allah terhadap Beliau, yaitu sebagai “hamba-Nya”, sehingga kita tidak menjadikan Beliau sebagai tuhan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani kepada Isa putra Maryam, kita tidak boleh berdoa kepada Beliau, meminta kepada Beliau, ruku’-sujud kepada Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam dsb, karena Beliau adalah hamba (manusia seperti halnya kita). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian memujiku berlebihan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani kepada putra Maryam, aku hanyalah hamba-Nya, katakanlah, “Hamba Allah dan utusan-Nya.” (HR. Bukhari)

Sedangkan maksud “Muhammad adalah utusan Allah” adalah kita meyakini dan mengakui bahwa Beliau adalah orang yang diutus Allah kepada manusia semuanya untuk mengajak mereka kepada-Nya sebagai basyir (pemberi kabar gembira) dan nadzir (pemberi peringatan). Di dalam persaksian ini terdapat larangan bersikap tafrith (meremehkan) Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena Beliau adalah utusan Allah, maka sikap kita adalah menaati perintahnya, membenarkan berita yang disampaikannya,  menjauhi larangannya dan beribadah kepada Allah sesuai contohnya.
Syarat-syarat Laailaahaillallah
Saudaraku kaum muslimin, Laailaahaillah adalah kunci surga, namun setiap kunci memiliki gigi-gigi yang berbeda. Jika ternyata giginya berbeda tentu seseorang tidak bisa memasukinya. Wahb bin Munabbih pernah ditanya, "Bukankah Laailaahaillallah kunci surga?" Ia menjawab, "Ya. Tetapi tidak ada satu pun kunci kecuali memiliki gigi-giginya. Jika engkau datang dengan gigi-giginya, maka akan dibukakan kepadamu. Tetapi jika tidak, maka tidak akan dibukakan kepadamu." (Diriwayatkan oleh Bukhari secara mu'allaq)
Gigi-gigi kunci surga itulah syarat-syarat Laailaahaillallah. Syarat-syaratnya adalah :
1. Ilmu (mengetahui maknanya), Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
    ”Barang siapa yang mati dalam keadaan mengetahui “Laailaahaillallah” niscaya ia akan masuk surga.” (HR. Muslim)
2. Yakin, yakni meyakini dengan tidak ragu-ragu terhadap “Laailaahaillallah” (lih. Al Hujuraat : 15). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda,
مَنْ لَقِيتَ مِنْ وَرَاءِ هَذَا الْحَائِطِ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ مُسْتَيْقِنًا بِهَا قَلْبُهُ فَبَشِّرْهُ بِالْجَنَّةِ *
    ”Siapa saja yang kamu temui di balik dinding ini bersaksi bahwa tidak yang berhak disembah kecuali Allah dengan yakin di hatinya maka berilah kabar gembira dengan surga.”(HR. Muslim)
3. Ikhlas, yakni mengucapkannya ikhlas karena Allah Ta’ala, bukan untuk kepentingan duniawi. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ نَفْسِهِ *
    Orang yang paling bahagia mendapatkan syafaatku adalah orang yang mengucapkan “laailaahaillallah” dengan ikhlas dari hatinya—atau dirinya” (HR. Bukhari)
4. Shidq, yakni jujur dalam mengucapkan kalimat ini dari hatinya, tidak seperti orang-orang munafik; lisannya mengucapkan kalimat tersebut namun hatinya menolak (lihat surat Al Baqarah ayat 8). Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلَّا حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
    “Tidak ada seorang pun yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad Rasulullah dengan jujur dari hatinya kecuali Allah akan mengharamkan neraka baginya” (HR. Bukhari)
5. Mahabbah, yakni ia mencintai kalimat ini, mencintai kandungannya, sehingga ia mencinta orang-orang yang mengucapkannya lagi mengamalkan isinya dan membenci orang-orang yang melakukan sebaliknya. (lih. Al Baqarah: 165)
6. Inqiyaad, yakni melaksanakan kandungan “laailaahaillah” ini dengan hanya beribadah kepada Allah saja dan meniadakan sesembahan selain-Nya. (lih. Luqman: 22)
7. Qabul, yakni menerima kandungan kalimat ini baik dengan lisan  (dengan mengucapkannya) maupun dengan hatinya (dengan mencintai, meyakini, ikhlas dan jujur) serta mempraktekkannya dalam keseharian. (lih. Ash Shaaffaat : 35-36).
Bahaya Syirk
Syirk maksudnya adalah seseorang mengadakan tandingan bagi Allah Subhaanahu wa Ta’ala baik dalam rububiyyah maupun uluhiyyah. Dalam rububiyyah misalnya menganggap bahwa di samping Allah Ta’ala ada juga yang ikut serta mengatur alam semesta. Sedangkan dalam uluhiyyah misalnya menyembah kepada selain Allah. Namun umumnya, syirk itu terjadi dalam uluhiyyah (beribadah).
Syirk adalah dosa yang sangat besar, dan termasuk tujuh dosa besar yang membinasakan seseorang dunia-akhirat, bahkan menduduki peringkat pertama. Di samping itu, Allah mengharamkan surga bagi orang yang meninggal di atas perbuatan syirk akbar (besar) dan mengekalkan orang itu di neraka (lihat Al Maa’idah : 72).
Syirk itu terbagi dua:
1.  Syirk Akbar (besar),
Syirk ini bisa terjadi dalam rububiyyah (lih. penjelasan sebelumnya) maupun dalam Uluhiyyah. Dalam Uluhiyyah adalah dengan mengarahkan ibadah kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala (baik selain Allah itu para malaikat, para nabi, orang-orang yang sudah mati, kuburan, batu, keris, matahari, bulan, jin maupun lainnya). Misalnya berdoa dan meminta kepada selain Allah, ruku’ dan sujud kepada selain Allah, berkurban untuk selain Allah (seperti membuat sesaji untuk jin atau penghuni kubur), bertawakkal kepada selain Allah dan segala bentuk penyembahan/ibadah lainnya yang ditujukan kepada selain Allah Ta’ala.
2.  Syirk Ashghar (kecil),
Syirk kecil adalah perbuatan, ucapan atau niat yang dihukumi syirk oleh Islam, karena bisa mengarah kepada Syirk Akbar dan mengurangi kesempurnaan tauhid seseorang. Misalnya,
q Bersumpah dengan nama selain Allah (seperti bersumpah dengan nama nabi atau lainnya), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
     “Barang siapa yang bersumpah dengan nama selain Allah, maka sungguh ia telah berbuat kufur atau syirk.”(HR. Tirmidzi dan ia hasankan)
q Memakai gelang, cincin atau kalung sambil beranggapan bahwa benda-benda tersebut sebagai sebab sembuhnya dari penyakit atau terhindar dari marabahaya. Hal ini termasuk syirk ashghar, karena Allah sama sekali tidak menjadikan sebab sembuhnya penyakit dengan benda-benda tersebut. Dan bisa menjadi Syirk Akbar apabila ia beranggapan bahwa benda-benda tersebut dengan sendirinya bisa menyembuhkan penyakit atau bisa menghindarkan marabahaya dsb. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ
“Barang siapa yang memakai jimat, maka ia telah berbuat syirk.” (Shahih, HR. Ahmad)
q Riya’ (mengerjakan ibadah agar dipuji oleh manusia), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ قَالُوا وَمَا الشِّرْكُ الْأَصْغَرُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الرِّيَاءُ
 “Sesungguhnya yang paling aku takuti menimpa kalian adalah syirk kecil." Para sahabat bertanya, “Apa syirk kecil itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Riya’.” (shahih, diriwayatkan oleh Ahmad)
q Mengerjakan ibadah tujuannya untuk mendapatkan dunia, misalnya seseorang ingin menjadi imam masjid, muazin atau khatib agar diberi uang dsb. Orang yang seperti ini sia-sia amalnya, sebagaimana riya’ (lihat Hud: 15-16). Kepada orang yang seperti ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وَإِذَا شِيكَ فَلَا انْتَقَشَ
“Celaka hamba dinar, hamba dirham dan hamba khamishah (pakaian mewah).Jika diberi ia senang, jika tidak ia marah, celakalah ia dan tersungkurlah, kalau terkena duri semoga tidak tercabut.” (HR. Bukhari)
q Thiyarah (merasa sial dengan sesuatu sehingga tidak melanjutkan keinginannya), misalnya ketika ia mendengar suara burung gagak ia beranggapan bahwa jika ia keluar dari rumah maka ia akan mendapat kesialan sehingga ia pun tidak jadi keluar, dsb. Pelebur dosa thiyarah adalah dengan mengucapkan:
اَللّهُمَّ لَا خَيْرَ اِلَّا خَيْرُكَ وَلَا طَيْرَ اِلَّا طَيْرُكَ وَلاَ اِلهَ غَيْرُكَ
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali kebaikan-Mu dan tidak ada nasib sial kecuali yang Engkau tentukan, dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain-Mu.”(HR. Ahmad)
Termasuk syirk juga adalah apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berikut ketika menafsirkan ayat "Falaa taj'aluu lillahi andaadaa…"artinya: "Maka janganlah kamu adakan bagi Allah tandingan-tandingan sedang kamu mengetahui" (Al Baqarah: 22) :
"Tandingan-tandingan tersebut adalah perbuatan syirk, di mana ia lebih halus daripada semut di atas batu yang hitam di kegelapan malam, yaitu kamu mengatakan "Demi Allah dan demi hidupmu hai fulan", "Demi hidupku", juga mengatakan "Jika seandainya tidak ada anjing kecil ini tentu kita kedatangan pencuri[1]", dan kata-kata "Jika seandainya tidak ada angsa di rumah  ini tentu kita kedatangan pencuri", juga pada kata-kata seseorang kepada kawannya "Atas kehendak Allah dan kehendakmu[2]", dan pada kata-kata seseorang "Jika seandainya bukan karena Allah dan si fulan (tentu…)", janganlah kamu tambahkan fulan padanya, semua itu syirk."

Perbedaan syirk akbar dengan syirk asghar
 adalah bahwa syirk besar dapat mengeluarkan seseorang dari Islam sedangkan syirk kecil tidak, syirk besar membuat seseorang kekal di neraka jika meninggal di atas perbuatan itu, sedangkan syirk kecil tidak dan syirk besar menghapuskan seluruh amal sedangkan syirk kecil tidak.
Termasuk syirk juga adalah: Meyakini ramalan bintang (zodiak), melakukan pelet, sihir atau santet, mencari (ngalap) berkah pada benda-benda yang dianggap keramat, mengatakan “Hanya Allah dan kamu saja harapanku”, “Aku dalam lindungan Allah dan kamu”, “Dengan nama Allah dan nama fulan” dan kalimat lain yang terkesan menyamakan dengan Allah Ta’ala. Termasuk syirk juga adalah menaati ulama atau umara ketika mengharamkan apa yang Allah halalkan atau menghalalkan apa yang Allah haramkan.
Doa agar terhindar dari syirk
اَللّهُمَّ اِنِّيْ اَعُوْذُ بِكَ اَنْ اُشْرِكَ بِكَ وَ اَناَ اَعْلَمُ وَ اَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ اَعْلَمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku dalam keadaan mengetahui dan aku minta ampunan-Mu daam hal yang tidak aku ketahui.” (HR. Ahmad)
Marwan bin Musa
Maraji’: Aqidatut Tauhid (Dr. Shalih Al Fauzan), Kitabut Tauhid (Syaikh M. bin Abdul Wahhab) dll.



[1] Hal ini syirk jika yang dilihat hanya sebab tanpa melihat kepada yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'aala atau seseorang bersandar kepada sebab dan lupa kepada siapa yang mengadakan sebab itu, yaitu Allah Azza wa Jalla. Namun, tidak termasuk syirk jika seseorang menyandarkan kepada sesuatu yang memang sebagai sebab berdasarkan dalil 'aqli atau hissiy (inderawi), ssebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang Abu Thalib, "Jika seandainya bukan karena saya, tentu ia berada di lapisan neraka yang paling bawah."
[2] Hal ini syirk, karena kata "dan" menunjukkan keikutsertaan pihak lain di samping Allah. Yang diperbolehkan adalah mengganti kata "dan" dengan kata "kemudian" karena kata “kemudian” tidak menunjukkan keikutsertaan, tetapi menunjukkan tartib ma’at taraakhiy (berlangsung setelah beberapa saat) dan menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَقُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ وَشَاءَ فُلَانٌ وَلَكِنْ قُولُوا مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ شَاءَ فُلَانٌ
“Janganlah kalian mengatakan “Atas kehendak Allah dan kehendak si fulan”, tetapi katakanlah “Atas kehendak Allah kemudian kehendak si fulan.” (Shahih, HR. Abu Dawud)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar