Al-Ghazali memiliki nama dan nasab Muhammad
bin Muhammad bin Ahmad Al-Thusi, lebih dikenal dengan Abu Hamid Al-Ghazali yang
mendapat gelar Hujjat al-Islâm. Ia merupakan ahli fiqih madzhab
Syafi’i, filosuf dan dikenal seorang sufi. (Sayyid Ahmad, 2005: 55)
Namanya dikaitkan dengan Ghazalat
di Thusia, yaitu nama kampung yang terletak di kota Khurasan Persia, di mana ia
dilahirkan di kota itu pada tahun 450 H/ 1058 M. Sebagian pendapat menisbatkan
kata Al-Ghazali kepada profesi ayahnya sebagai pemintal tenun. (Thaha Abdullah,
2003: 23-24 dan Ali Riyadi, 2008: 9)
Al-Ghazali menimba ilmu kepada Ahmad bin
Muhammad al-Razkani, Yusuf al-Nassaj, Abu Nashr al-Isma’il dan kepada Imam
al-Haramain Dhiyauddin al-Juwaini di Madrasah Nizhamiyah. Pada masa
pemerintahan Nizham al-Muluk, dirinya mendapat gelar Hujjat al-Islam
(setingkat professor tahun 484 H/1091 M). (Sayyid Ahmad, 2005: 58 dan Ali
Riyadi, 2008: 11).
Ketokohan Al-Ghazali dalam perjalanan sejarah
Islam, sangat dikagumi para sarjana Barat maupun Islam. Di antaranya M. Saeed
Sheikh, dalam sebuah artikelnya menyebutkan:
“Al-Ghazali dalam sejarah pemikiran filsafat dan keagamaan
Islam menempati kedudukan yang unik, karena pertimbangan kedalaman
pengetahuannya, orisinilitas dan pengaruh pemikirannya. Dia dijuluki sebagai
The Proof of Islam (hujjat al-Islam), The Ornament of Faith (Zain
al-Din), dan The Renewer of Religion (mujaddid). Di dalam dirinya terkumpul
hampir semua jenis pemikiran dari berbagai gerakan intelektual dan keagamaan
yang berkembang pada masanya. Maka, tidaklah mengherankan jika dia terkenal
sebagai seorang pakar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqh,
filsafat dan tashawuf.” (Ali Riyadi, 2008: 7)
Gelar Hujjat
al-Islam yang disandangkan kepada Al-Ghazali dinilai sebagai reformer abad
ke-lima Hijriyyah. Imam al-Haramain berkata: “Al-Ghazali adalah lautan tanpa
tepi.” Imam Muhammad Yahya salah seorang muridnya berkata: “Al-Ghazali adalah
al-Syafi’i kedua.” Abu al Al Ghazali/sufi/hujjat al islamHasan al-Ghâfir al-Farisi (ulama sezamannya)
berkomentar sebagaimana dituturkan al-Qaradhawi, (1997: 41) sebagai berikut:
“Al-Ghazali adalah Hujjat al-Islam bagi kaum
muslimin, imam dari para imam agama, pribadi yang tidak pernah dilihat oleh
mata pada diri tokoh-tokoh selainnya, baik lisannya, kecerdasan maupun
tabi’atnya.” Al-Tâj Ibnu al-Subki dalam kitabnya Thabaqat
al-Syafi’iyyah berkomentar: “Al-Ghazaliadalah Hujjat al-Islam
dan pemberi hujjah tentang agama, yang mencapai Dâr al-Salam (tempat
tinggal yang damai), penghimpun ilmu yang berserakan yang berkemampuan tinggi
dalam menjelaskan persoalan, baik yang bersifat nash, maupun yang bersifat
gagasan.”
Sedangkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayat
wa al-Nihayat, (Qaradhawi, 1997: 42) memberikan komentar:
“Al-Ghazali
sangat jenius dalam berbagai disiplin ilmu dan memiliki karya yang tak
terhitung. Dia termasuk orang yang paling cerdas di kalangan cendikiawan dalam
setiap membahas sebuah masalah. Al-Ghazalitelah menjadi seorang tuan dikala
mudanya, sehingga dia diangkat sebagai dosen di Universitas Nizhamiyah Baghdad.
Saat itu dia baru tiga puluh empat tahun, namun banyak ulama besar yang berguru
kepadanya. Di antara mereka yang berguru kepadanya adalah Abu Al-Khithab dan
Ibnu Aqil, keduanya tokoh yang bermadzhab Hanbali, yang kemudian menyatakan
kagum dengan kefasihan bahasa dan keluasan ilmu Al-Ghazali.” (Qaradhawi,
1997: 42)
Setelah kembalinya ke kota Thus, dirinya
meninggal pada tanggal 12 Jumad al-Tsâniyah 505 H. Sedangkan menurut W.
Montgomery Watt, Al-Ghazali meninggal pada hari Minggu 14 Jumad al-Tsâniyah 505
H/ 18 Desember 1111 M. pada usia 55 tahun.
Pandangannya dalam
pendidikan, bahwa tujuan pendidikan dalam Islam yang paling utama ialah
beribadah dan taqarrub kepada Allah dan kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan
akhirat. (sebagaimana dikutip Ramayulis, 2004: 72).
Hal ini sejalan dengan apa
yang telah ditetapkan Allah dalam firmanNya:
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash/28: 77)
Al-Ghazali mengemukakan rumusan tentang
tujuan penuntut ilmu adalah untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat di akhirat
dan yang mendorong kepada melakukan ketaatan kepada Allah, dengan cara menjauhi
ilmu-ilmu yang kurang bermanfaat dan yang banyak memunculkan perdebatan.
Muhammad Jawwad Ridha mengomentari kitab Ayyuha al-Walad (salah satu
karya Al-Ghazali) dalam bukunya Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam,
Al-Ghazali menasehati penuntut ilmu agar giat bekerja untuk memenuhi kebutuhan duniawinya
sekedar berapa lama akan hidup di dalamnya dan giat berusaha untuk kepentingan
akhiratnya sekedar berapa lama akan tinggal di sana. Kemudian ia mengemukakan
bahwa bila berpegang pada prinsip ini sebenarnya tidak begitu banyak ilmu yang
diperlukan. Kuatnya prinsip Al-Ghazali pada agama menyebabkannya terkesan
melarang belajar ilmu-ilmu non keagamaan.
Dalam konteks penjelasan
tentang keunggulan ilmu agama dibanding dengan keilmuan lain, Al-Ghazali
mengatakan:
“Sesungguhnya keutamaan itu relatif. Kita
memandang rendah terhadap pekerjaan sebagai kasir, karena membandingkannya
dengan pekerjaan sebagai pejabat, ini tidak berarti bahwa pada kasir itu
bersifat rendah dan hina, sebab jika mereka dibandingkan dengan para tukang
sapu, mereka lebih utama. Dengan demikian janganlah kamu mempunyai anggapan
bahwa status yang jauh dari puncak kehormatan itu lantas dianggap sebagai
tidak berharga dan aib. Ketahuilah bahwa
status paling terhormat adalah para nabi, para wali, para ulama, lalu para
orang-orang yang shaleh sesuai dengan tingkatannya masing-masing.” (Jawad
Ridha, 2002: 60-62)
Al-Ghazali berkesimpulan
bahwa hakikat belajar itu adalah menuntut ilmu agama. Didasarkan pada rasa
tanggung jawab keagamaan yang sangat kuat dalam dirinya telah mengokohkan rasa
tanggung jawab moral dan etika, yaitu penghargaan terhadap pendidikan agama
yang sangat tinggi. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan Jawad Ridha (2002:
123-124): “Jelaslah bahwa ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan menuju
akhirat hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan akal dan kejernihan pikir.
Akal adalah instrumen daya insani yang termulia, karena dengan akal manusia
menerima amanat Allah dan dengannya juga manusia mendekatkan diri kepada-Nya”.
Oleh karenanya, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian; ilmu yang fardhu
‘ain dan ilmu yang fardhu kifayat. Fardhu ‘ain artinya
ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim, seperti ilmu tentang
cara-cara shalat, puasa dan lain-lain. Sedangkan fardhu kifâyat
adalah ilmu yang apabila sebagian ummat Islam telah mempelajarinya, maka yang
lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya, seperti ilmu kedokteran,
perdagangan dan lain-lain.
Merupakan sesuatu yang
wajar apabila Al-Ghazali memiliki pandangan demikian, sehubungan kerusakan yang
dilihat pada zamannya adalah diabaikannya ilmu-ilmu agama sebagai akibat dari
pengaruh filsafat dan perdebatan kalam. Hal inilah yang mendorong dirinya untuk
bangkit menghidupkan ilmu-ilmu agama dengan kitab monumentalnya Ihya
Ulum al-Dîn.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar