Sabtu, 28 Juni 2014

ABU HAMID AL-GHAZALI





          
Al-Ghazali memiliki nama dan nasab Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Al-Thusi, lebih dikenal dengan Abu Hamid Al-Ghazali yang mendapat gelar Hujjat al-Islâm. Ia merupakan ahli fiqih madzhab Syafi’i, filosuf dan dikenal seorang sufi. (Sayyid Ahmad, 2005: 55)
Namanya dikaitkan dengan Ghazalat di Thusia, yaitu nama kampung yang terletak di kota Khurasan Persia, di mana ia dilahirkan di kota itu pada tahun 450 H/ 1058 M. Sebagian pendapat menisbatkan kata Al-Ghazali kepada profesi ayahnya sebagai pemintal tenun. (Thaha Abdullah, 2003: 23-24 dan Ali Riyadi, 2008: 9)

Al-Ghazali menimba ilmu kepada Ahmad bin Muhammad al-Razkani, Yusuf al-Nassaj, Abu Nashr al-Isma’il dan kepada Imam al-Haramain Dhiyauddin al-Juwaini di Madrasah Nizhamiyah. Pada masa pemerintahan Nizham al-Muluk, dirinya mendapat gelar Hujjat al-Islam (setingkat professor tahun 484 H/1091 M). (Sayyid Ahmad, 2005: 58 dan Ali Riyadi, 2008: 11).
Ketokohan Al-Ghazali dalam perjalanan sejarah Islam, sangat dikagumi para sarjana Barat maupun Islam. Di antaranya M. Saeed Sheikh, dalam sebuah artikelnya menyebutkan:
Al-Ghazali dalam sejarah pemikiran filsafat dan keagamaan Islam menempati kedudukan yang unik, karena pertimbangan kedalaman pengetahuannya, orisinilitas dan pengaruh pemikirannya. Dia dijuluki sebagai The Proof of Islam (hujjat al-Islam), The Ornament of Faith (Zain al-Din), dan The Renewer of Religion (mujaddid). Di dalam dirinya terkumpul hampir semua jenis pemikiran dari berbagai gerakan intelektual dan keagamaan yang berkembang pada masanya. Maka, tidaklah mengherankan jika dia terkenal sebagai seorang pakar dalam berbagai disiplin ilmu, seperti teologi, fiqh, filsafat dan tashawuf.” (Ali Riyadi, 2008: 7)

 Gelar Hujjat al-Islam yang disandangkan kepada Al-Ghazali dinilai sebagai reformer abad ke-lima Hijriyyah. Imam al-Haramain berkata: “Al-Ghazali adalah lautan tanpa tepi.” Imam Muhammad Yahya salah seorang muridnya berkata: “Al-Ghazali adalah al-Syafi’i kedua.” Abu al Al Ghazali/sufi/hujjat al islamHasan al-Ghâfir al-Farisi (ulama sezamannya) berkomentar sebagaimana dituturkan al-Qaradhawi, (1997: 41) sebagai berikut:
“Al-Ghazali adalah Hujjat al-Islam bagi kaum muslimin, imam dari para imam agama, pribadi yang tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh selainnya, baik lisannya, kecerdasan maupun tabi’atnya.” Al-Tâj Ibnu al-Subki dalam kitabnya Thabaqat al-Syafi’iyyah berkomentar: “Al-Ghazaliadalah Hujjat al-Islam dan pemberi hujjah tentang agama, yang mencapai Dâr al-Salam (tempat tinggal yang damai), penghimpun ilmu yang berserakan yang berkemampuan tinggi dalam menjelaskan persoalan, baik yang bersifat nash, maupun yang bersifat gagasan.”

Sedangkan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayat wa al-Nihayat, (Qaradhawi, 1997: 42) memberikan komentar:
 Al-Ghazali sangat jenius dalam berbagai disiplin ilmu dan memiliki karya yang tak terhitung. Dia termasuk orang yang paling cerdas di kalangan cendikiawan dalam setiap membahas sebuah masalah. Al-Ghazalitelah menjadi seorang tuan dikala mudanya, sehingga dia diangkat sebagai dosen di Universitas Nizhamiyah Baghdad. Saat itu dia baru tiga puluh empat tahun, namun banyak ulama besar yang berguru kepadanya. Di antara mereka yang berguru kepadanya adalah Abu Al-Khithab dan Ibnu Aqil, keduanya tokoh yang bermadzhab Hanbali, yang kemudian menyatakan kagum dengan kefasihan bahasa dan keluasan ilmu Al-Ghazali.” (Qaradhawi, 1997: 42)

Setelah kembalinya ke kota Thus, dirinya meninggal pada tanggal 12 Jumad al-Tsâniyah 505 H. Sedangkan menurut W. Montgomery Watt, Al-Ghazali meninggal pada hari Minggu 14 Jumad al-Tsâniyah 505 H/ 18 Desember 1111 M. pada usia 55 tahun.


Pandangannya dalam pendidikan, bahwa tujuan pendidikan dalam Islam yang paling utama ialah beribadah dan taqarrub kepada Allah dan kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan akhirat. (sebagaimana dikutip Ramayulis, 2004: 72).
Hal ini sejalan dengan apa yang telah ditetapkan Allah dalam firmanNya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik  kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash/28: 77)

Al-Ghazali mengemukakan rumusan tentang tujuan penuntut ilmu adalah untuk memperoleh ilmu yang bermanfaat di akhirat dan yang mendorong kepada melakukan ketaatan kepada Allah, dengan cara menjauhi ilmu-ilmu yang kurang bermanfaat dan yang banyak memunculkan perdebatan. Muhammad Jawwad Ridha mengomentari kitab Ayyuha al-Walad (salah satu karya Al-Ghazali) dalam bukunya Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam, Al-Ghazali menasehati penuntut ilmu agar giat bekerja untuk memenuhi kebutuhan duniawinya sekedar berapa lama akan hidup di dalamnya dan giat berusaha untuk kepentingan akhiratnya sekedar berapa lama akan tinggal di sana. Kemudian ia mengemukakan bahwa bila berpegang pada prinsip ini sebenarnya tidak begitu banyak ilmu yang diperlukan. Kuatnya prinsip Al-Ghazali pada agama menyebabkannya terkesan melarang belajar ilmu-ilmu non keagamaan.
Dalam konteks penjelasan tentang keunggulan ilmu agama dibanding dengan keilmuan lain, Al-Ghazali mengatakan:
Sesungguhnya keutamaan itu relatif. Kita memandang rendah terhadap pekerjaan sebagai kasir, karena membandingkannya dengan pekerjaan sebagai pejabat, ini tidak berarti bahwa pada kasir itu bersifat rendah dan hina, sebab jika mereka dibandingkan dengan para tukang sapu, mereka lebih utama. Dengan demikian janganlah kamu mempunyai anggapan bahwa status yang jauh dari puncak kehormatan itu lantas dianggap sebagai tidak  berharga dan aib. Ketahuilah bahwa status paling terhormat adalah para nabi, para wali, para ulama, lalu para orang-orang yang shaleh sesuai dengan tingkatannya masing-masing.” (Jawad Ridha, 2002: 60-62)

Al-Ghazali berkesimpulan bahwa hakikat belajar itu adalah menuntut ilmu agama. Didasarkan pada rasa tanggung jawab keagamaan yang sangat kuat dalam dirinya telah mengokohkan rasa tanggung jawab moral dan etika, yaitu penghargaan terhadap pendidikan agama yang sangat tinggi. Namun demikian, sebagaimana dijelaskan Jawad Ridha (2002: 123-124): “Jelaslah bahwa ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan menuju akhirat hanya dapat diperoleh dengan kesempurnaan akal dan kejernihan pikir. Akal adalah instrumen daya insani yang termulia, karena dengan akal manusia menerima amanat Allah dan dengannya juga manusia mendekatkan diri kepada-Nya”. Oleh karenanya, Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian; ilmu yang fardhu ‘ain dan ilmu yang fardhu kifayat. Fardhu ‘ain artinya ilmu yang wajib dipelajari oleh setiap individu muslim, seperti ilmu tentang cara-cara shalat, puasa dan lain-lain. Sedangkan fardhu kifâyat adalah ilmu yang apabila sebagian ummat Islam telah mempelajarinya, maka yang lain tidak tertuntut kewajiban mempelajarinya, seperti ilmu kedokteran, perdagangan dan lain-lain.
Merupakan sesuatu yang wajar apabila Al-Ghazali memiliki pandangan demikian, sehubungan kerusakan yang dilihat pada zamannya adalah diabaikannya ilmu-ilmu agama sebagai akibat dari pengaruh filsafat dan perdebatan kalam. Hal inilah yang mendorong dirinya untuk bangkit menghidupkan ilmu-ilmu agama dengan kitab monumentalnya Ihya Ulum al-Dîn.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar