BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia terdiri dari
dimensi fisik, emosi, intelektual, sosial dan spiritual dimana setiap dimensi
harus dipenuhi kebutuhannya.Seringkali permasalahan yang mucul pada klien
ketika mengalami suatu kondisi dengan penyakit tertentu (misalnya penyakit
fisik) mengakibatkan terjadinya masalah psikososial dan spiritual.Ketika klien
mengalami penyakit, kehilangan dan stres, kekuatan spiritual dapat membantu
individu tersebut menuju penyembuhan dan terpenuhinya tujuan dengan atau
melalui pemenuhan kebutuhan spiritual.
Dengan kata lain
apabila satu dimensi terganggu, maka dimensi yang lain akan terganggu. Sebagai
contoh apabila seseorang sedang sakit gigi atau sakit kepala (dimensi fisik
terganggu)maka akan sangat mudah baginya untuk marah (dimensi emosional ikut
terganggu).
Untuk menghadapi
masalah distres spiritual contohnya, perawat dapat memberikan intervensi yang
ditujukan untuk memenuhi beberapa hal yaitu: dengan membantu klien, memenuhi
kewajiban agamanya, meningkatkan perasaan penuh harap dan memberi sumber
spiritual serta membina hubungan personal dengan pencipta. Namun, dalam
memberikan asuhan keperawatan tersebut sebelumnya perawat harus mengkaji
terlebih dahulu dan menyesuaikan asuhan keperawatan sesuai dengan perkembangan
aspek spiritual dari klien.
Sehingga dengan
maklah ini penulis ingin mengetahui lebih jauh mengenai Perkembangan Spiritual
dalam psikologi yang lebih rinci dan mendetil dari mulai usia dini hingga
lanjut usia, sehingga nantinya akan menjadi suatu ilmu yang mudah-mudahan bisa menyadari
dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik bagi diri sendiri maupun
kepada orang lain.
B. Perumusan
Masalah
Ø Apa Pengertian Spiritual ?
Ø Bagaimana Perkembangan Spiritual dari usia dini hingga lanjut usia
?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Spiritualitas
1) Spiritual secara bahasa dan Istilah
Kata spiritualitas berasal dari bahasa Inggris yaitu “
spirituality”, kata dasarnya “Spirit” yang berarti: “roh,jiwa,semangat” (Echols
& Shadily,1997). Kata spirit sendiri berasal dari kata latin “spiritus”
yang berarti; luas atau dalam (breath), keteguhan hati atau keyakinan
(courage), energy atau semangat (vigor) dan kehidupan (Ingersoll,1994). Kata
sifat spiritual berasal dari kata latin spiritualitas yang berarti “of the
spirit” (kerohanian)[1].
2) Spiritual menurut beberap Ahli
a) Ingersoll (1994) mengartikan spiritualitas sebagai wujud dari
karakter spiritualitas, kualitas atau sifat dasar. Belakangan, definisi tentang
spiritualitas meliputi komunikasi dengan tuhan ( Fox, 1983) dan upaya seseorang
untuk bersatu dengan tuhan ( Mangill & Mcgreal, 1988).Tillich (1959)
menulis bahwa spiritualitas merupakn persoalan pokok manusia dan pemberi makna
substansi dari kebudayaan. Witmer (1989) mendefinisikan spiritualitas
sebagai suatu kepercayaan akan adanya
suatu kekuatan atau suatu yang lebih agung dari diri sendiri.
b) Bollinger (1969) menggambarkan kebutuhan spiritual sebagai
kebutuhan terdalam dari diri seseorang yang apabila terpenuhi individu akan
menemukan identitas dan makna hidup yang penuh arti. Booth ( 1992) menjelaskan
bahwa spiritualitas adalah suatu sikap hidup yang memberi penakanan energi,
pilihan kreatif dak kekuatan penuh bagi kehidupan serta menekankan pada upaya
penyatuan diri dengan suatu kekuatan yang lebih besar dari individual, suatu cocreatorship
dengan tuhan.
c) Menurut Aliah B. Purwakania Hasan (2006), Spiritualitas memiliki
ruang lingkup dan makna pribadi yang luas, hanya saja spiritualitas mungkin
dapat dimengerti dengan membahas kata kunci yang sering muncul ketika
oramg-orang mengabarkan arti spiritualitas bagi mereka. Dengan mengutip hasil
penelitiannya Martshop dan mikley, Aliyah
B purwakania hasan menyebutkan
beberapa kata kunci yang bisa di pertimbangkan., yaitu:
v Meaning (makna). Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam
kehidupan manusia, mersakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan.
v Velue (nilai-nilai). Nilai-nilai adalah kepercayaan, standard an
etika yang di hargai.
v Transcendence (transendensi). Transendensi adalah merupakan
pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendensal bagi kehidupan diatas diri
seseorang.
v Connecting (bersambung). Bersambung adalah meningkatkan kesadaran
terhadap hubungan dengan diri sendiri, orang lain, tuhan dan alam.
v Becoming (menjadi). Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut
refleksi dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagaimana seseorang
mengetahui.
B. Perkembangan Spiritual
James Fowler (1993,
2000) mengemukakan bahwa antara kebutuhan
kognitif dan emosional tidak dapat dipisahkan dalam perkembangan
spiritual.Spritual tidak dapat berkembang lebih cepat dari kemampuan
intelektual dan tergantung pada perkembangan kepribadian.Jadi teori
perkembangan spiritual Fowler meliputi ketidaksadaran, kebutuhan,
kemampuan seseorang, dan perkembangan kognitif. Fowler mlihat ada 6 fase
perkembangan spiritual yaitu :
1) Intuitive-projective
faith
Fase ini minimal
terjadi setelah usia 4 tahun. Pada fase ini manusia hanya fokus pada kualitas
secara permukaan saja, seperti apa yang digambarkan oleh orang dewasa dan
tergantung pada luasnya fantasi dari manusia itu sendiri. Di sini konsep Tuhan
direfleksikan sebagai sesuatu yang gaib[2].
2) Mythical-literal
faith
Terjadi pada usia
minimal 5 sampai 6 tahun. Pada fase ini, fantasi sudah tidak lagi menjadi sumber
utama dari pengetahuan, dan pembuktian fakta menjadi perlu.Pembuktian kebenaran
bukan berasal dari pengalaman aktual yang dialami sendiri, tapi berasal dari
sesuatu yang dianggap lebih ahli, seperti guru, orang tua, buku, dan
tradisi.Kepercayaan di fase ini mengarah pada sesuatu yang konkrit dan
tergantung dari kredibilitas orang yang bercerita.
3) Poetic-conventional
faith
Terjadi pada usia
minimal 12 sampai 13 tahun. Pada fase ini kepercayaan tergantung pada konsensus
dari opini orang lain, orang yang lebih ahli. Mempelajari fakta masih menjadi
sumber informasi, tapi individu mulai percaya pada penilaian mereka
sendiri.Meskipun demikian mereka belum sepenuhnya percaya terhadap penilaian
mereka tersebut.
4) Individuating-reflective faith
Terjadi pada usia
minimal 18 sampai 19 tahun. Pada fase yang ketiga remaja tidak dapat menemukan
area pengalaman baru karena tergantung pada orang lain di kelompoknya yang
belum tentu dapat menyelesaikan masalah. Individu di fase ini mulai mengambil
tanggungjawab atas kepercayaannya, perilaku, komitmen, dan gaya hidupnya. Tapi
individu pada tahap ini tetap masih membutuhkan figure yang bisa diteladani.
5) Paradoxical-consolidation faith
Terjadi pada usia
minimal 30 tahun. Pada fase ini individu mulai bisa memahami dan mengintegrasikan
elemen spiritual seperti simbolisasi, ritual, dan kepercayaan.Individu di fase
ini juga menganggap bahwa semua orang termasuk dalam kelompok yang universal
dan memiliki rasa kekeluargaan terhadap semua orang.
6) Universalizing
faith
Terjadi pada usia
minimal 40 tahun. Tapi meskipun begitu Fowler menganggap bahwa sangat sedikit
orang yang mampu mencapai fase ini, sama
seperti fase terakhir dari perkembangan moral Kohlberg.
C. Dimensi Spiritual
Meskipun para tentang
spiritualitas yang sehat mencata bahwa spiritualitas harus dipahami dalam
multidimensional, namu Ingersoll menggambarkan spiritualitas dalam tujuh
dimensi, yaitu makna (meaning) konsep tentang ketuhanan (conception of divinity), hubungan (relationship),
misteri (mystery), pengalaman (experience),
perbuatan atau permainan (play), dan
integrasi (integration).
1.
Meaning,
Meaning atau makna merupakan dimensi terpentin dari spiritualitas. Meslipunmakna tidak
mungkin di gambarkan dalam cara-cara umum,namun ia dapat dipahami sebagai
sesuatu yang dialami individu yang mebuat kehidupannya lebih bernilai atau berharga. Manususia mengisi hidupnya
bukan hanya sia-sia. Sasaran merupakan wujud kriterium yang ingin akan di capai
sseorang. Ia dapat bermakna, tapi juga berpeluang untuk menjadi bermakna. Sebagaimana yang dikatakan Viktor Frankl: Setiap orang ingin mengisi
kehidupannya menjadi bermakna, dan ia
memiliki kebebasan yang bertanggung jawab
untuk menentukan sikap bagaimana ia akan mencapai makna ini, manusia
memiliki perangkat atau alat untuk mencapai makna ini, yang berkembang sesuai
dengan pengalaman yang mengasahdirinya.
2.
Conception
of divinity,
Dimensi kedua dari spiritualitas adalah konsep
ketuhanan. Bagaiman konseftualisasi seseorang
tentang tuhan munkin bermacam-macam. Salah satunya menurut Fok, (1983)
bahwa mentegorisasikan konsep individu
tentang yuhan Tuhan atas teistik, ateistik, pantheistik, atau panetheistik Secara ateistik seseorang menyangkal (refute) atau menolak (resist) konsepsi
tentang tuhan.
3. Ralationship,
Dimensi spiritualitas yang ketiga adalah dimensi hubungan. Salah satu tujuan dari semua mitologi, termasuk system agama adalah untk menemukan hubungan. Hubungan ini mencakup bagaimana individu hubungan dengan konsepnya tentang ketuhanan dan dengan orang lain.
Dimensi spiritualitas yang ketiga adalah dimensi hubungan. Salah satu tujuan dari semua mitologi, termasuk system agama adalah untk menemukan hubungan. Hubungan ini mencakup bagaimana individu hubungan dengan konsepnya tentang ketuhanan dan dengan orang lain.
4. Mystery.
Misteri merupakan salah satu dimensi spiritualitas
yang penting.Banyak upaya untuk menggambarkan spiritualitas menyinggung misteri
dan embiguitas dari spiritualitas. Banks, dalam menguraikan dimensi misteri ini
mencatat bahwa spiritualitas merupakan dimensi yangf secara tripikal dirasakan
sebagai sesuatu yang tidak bisa dipahami
dan tidak bisa dilukiskan.
5. Experience.
Disamping konsep tentang tak terbatas, kesadaran
tentang makna, dinamika hubungan, dan dimensi misteri, terdapat kebutan untuk
menjelaskan bagaimana semua ini dimanifestasi dalam pengalaman (experience) individual. Campbell
menekankan pentingnya pengalaman spiritualitas, dimana orang menceritakan tentang pencarian makna hidup; apa yang
sesunguhnya mereka cari tidak lain adalah pengalaman hidup, dan memghubungkan
spirtualitas dengan pengalaman yang terjadi dalam kehidupan.
6.
Dimentional
Integration.
Keenem dimensi spiritual yang telah dijelaskan
diatas , sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan saling berintegrasi dan
merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam pengetahuan perkembangan spiritualitas,
kita ketahui bahwa spiritualitas adalah dorongan yang berupa Spirit motivation
dalam menjalankan berbagai macam gejolak
– gejolak dalam hidup sehingga bisa berubah seutuhnya menjadi lebih baik.
Dalam perkembangan spiritualitas ini
menunjukkan perkembangan dimana usia-usia seseorang untuk mengetahui hal-hal
yang ghaib, di mana seseorang untuk mengikuti
fase pertumbuhannya.
Spiritualitas juga bertujuan untuk mencapai
suatu pengetahuan yang banyak berupa dimensi-dimensi dan asfek yang metoleris
danakan mengetahui tuhan, Hal ini mengandung beberapa unsur dari spiritual itu
sendiri antara lain
Ø Berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui atau ketidakpastian
dalam kehidupan.
Ø Menemukan arti hidup atau makna hidup.
Ø Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam
diri sendiri.
Ø Mempunyai perasaan keterikatan dengan diri sendiri dan dengan Tuhan
Yang Maha Kuasa.
Daftar Pustaka
Desmita.(2009).
Psikologi Perkembangan Peserta Didik.
Bandung.
http://ramabintangsekolah.blogspot.com/2010/03/james-fowler-james-fowler-1993-2000.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar