MAKALAH
TUGAS INDIVIDU
ADAT BUDAYA BATAK
Di susun oleh :
HARIYATI (F37012041)
JURUSAN PENDIDIKAN DASAR
PROGRAM STUDI GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sistem kekeluargaan di dalam hukum
adat ada tiga yaitu Patrilineal, Matrilineal dan Bilateral. Patrilineal yang
merupakan sistem kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari keturunan pihak
laki-laki yang jika terjadi sesuatu pihak ayah yang akan bertanggungjawab.
Matrilineal, sistem garis keturunan yang menarik garis keturunan dari garis
keturunan ibu yang juga jika tejadi sesuatu pihak ibu yang bertanggungjawab.
Sistem tersebut dianut oleh masyarakat minangkabau. Sedangkan Bilateral sendiri
tidak ada dominasi antara pihak laki-laki dan perempuan. Sistem ini dipakai
oleh masyarakat suku jawa.
Banyaknya masalah telah terjadi dalam kehidupan
bermasyarakat terutama hal-hal yang berhubungan dengan adat istiadat serta
kebiasaan masyarakat. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku, budaya, dan
adat istiadat yang berbeda mengalami hal tersebut dengan beragamnya etnis
budaya yang ada.
Salah satu permasalahan yang terjadi di masyrakat adat
tak luput dari masalah kewarisan. Dalam hal ini yang ingin dikaji lebih dalam
adalah sistem patrilineal dalam lingkungan masyarakat di Sumatera Utara, suku
Batak pada khususnya. Di Sumatera Utara memang mayoritas penduduknya adalah
suku Batak. Suku Batak yang dikategorikan sebagai adalah Karo, Pakpak, Toba, Simalungun, Mandailing, dan Angkola. Batak yang
ingin dikaji lebih dalam adalah Batak Toba. Suku yang mayoritas hidup di Pulau
Samosir, Tapanuli Utara dan sekitarnya ini mengenal sistem patrilineal dalam
menarik garis keturunannya. Untuk lebih spesifiknya akan dipelajari lebih dalam
Suku Batak Toba didaerah Tapanuli Utara mengenai Dalam pembagian warisan orang
tua.
2.
Rumusan
Masalah
Dengan adanya latarbelakang masalah
diatas, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah :
1.
Bagaimanakah Sistem Patrilineal yang
hidup dalam masyarakat Suku Batak Toba didaerah Pulau Samosir, Tapanuli Utara
dan sekitarnya?
- Bagaimana kah system pembagian waris dalam
masyarakat adat batak toba?
BAB II
PEMBAHASAN
- Suku Batak Toba
Di provinsi Sumatera Utara terdapat
berbagai suku bangsa yang hidup dan berkembang di daerah tersebut. Salah satu
sukubangsa yang terbesar di daerah tersebut adalah suku Batak. Masyarakat Batak
sebenarnya terdiri dari beberapa anak suku walaupun secara umum lebih sering
hanya disebut orang Batak.
Suku batak terbagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu
batak toba, batak simalungun, batak karo, batak pakpak dan batak mandailing.
Dalam hal ini Saya mengambil pembahasan tentang batak toba.
Masyarakat Batak Toba yang berada di wilayah dataran
tinggi Batak bagian Utara merupakan suatu suku yang terdapat di provinsi Sumatera
Utara. Dalam masyarakat Batak Toba, dibagi lagi dalam suatu komunitas seperti
sub suku menurut dari daerah dataran tinggi yang didiami. Seperti wilayah
Silindung yang di dalamnya masuk daerah di lembah Silindung yaitu Tarutung,
Sipahutar, Pangaribuan, Garoga dan Pahae. Daerah Humbang diantaranya Dolok
Sanggul, Onan Ganjang, Lintong Ni huta, Pakkat dan sekitarnya. Sementara Toba
meliputi Balige, Porsea, Samosir, Parsoburan dan Huta Julu.
Dari ketiga daerah Batak Toba tersebut, juga memiliki
perbedaan dalam hal adat – istiadat juga, diantaranya perbedaan dalam tata adat
perkawinan, pemakaman juga dalam pembagian warisan. Dan dalam adat – istiadat
juga ada beberapa daerah yang sangat patuh terhadap dalam adat atau dengan kata
lain adat – istiadat nya sangat kuat, itu dikarenakan daerah dan keadaan daerah
yang masih menjunjung tinggi sistem adat- istiadat. Daerah yang sangat
menjunjung tinggi adat – istiadat tersebut adalah masyarakat daerah Humbang dan
daerah Toba. Masyarakat ini biasanya selalu mempertahankan kehidupan dari
budaya dan adat – istiadat mereka.
2.
Sistem
Patrilineal
Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur
alur keturunan berasal dari pihak ayah. Dimana jika terjadi masalah maka
yang bertanggungjawab adalah pihak laki-laki. Sistem kekeluargaan ini dianut
oleh bangsa Arab, Eropa, dan suku Batak yang hidup
di daerah Sumatera Utara.
Kata Patrilineal seringkali disamakan dengan
patriarkhat atau patriarkhi, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata,
yaitu pater (bahasa Latin) yang
berarti “ayah”, dan linea
(bahasa Latin) yang berarti “garis”. Jadi, “patrilineal” berarti mengikuti
“garis keturunan yang ditarik dari pihak ayah”. Sementara itu patriarkhat berasal dari dua kata
yang lain, yaitu pater yang
berarti “ayah” dan archein (bahasa Yunani) yang berarti “memerintah”. Jadi,
“patriarkhi” berarti “kekuasaan berada di tangan ayah atau pihak laki-laki“. Dari
pengertian tersebut jelas terlihat perbedaan makna dari kedua kata tersebut.
Patrilineal mengarah ke garis keturunan dan patriarkhat lebih menjurus kearah
kekuasaan. Meski kedua hal tersebut sama-sama memiliki kaitan dengan pihak
laki-laki.
3.
Hukum
Waris Adat
Khususnya di
Indonesia banyak dikenal system hokum waris yang dapat diberlakukan dalam
masyarakat, ini tidak terlepas dari aspek sejarah bahwa system hokum yang
pernah eksis dalam sejarah Negara Indonesia sangat plural (majemuk) , antara
lain hukm waris barat, hokum waris islam, dan hokum waris adat.
Hukum waris adat merupakan penggunaan istilah yang
berbeda dengan hokum waris lainnya, sehingga terlihat hokum waris adat
merupakan system yang berbeda dengan hokum waris islam dan huku waris barat
yang sampai sekarang masih banyak dianut oleh anggota masyarakat.Oleh karenanya,
perlu ditegaskan hokum waris adat merupakan salah satu dari sekian banyak
system hokum yang ada dalam hokum adat yang bersumber dari akar budaya asli
bangsa Indonesia yang beraneka ragam.
Dalam pembagian warisan orang tua. Yang mendapatkan
warisan adalah anak laki – laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian
dari orang tua suaminya atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan
warisan dengan cara hibah. Pembagian harta warisan untuk anak laki – laki juga
tidak sembarangan, karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak
laki – laki yang paling kecil atau dalam bahasa batak nya disebut Siapudan. Dan dia mendapatkan warisan
yang khusus. Dalam sistem kekerabatan Batak
Parmalim, pembagian harta warisan tertuju pada pihak perempuan. Ini
terjadi karena berkaitan dengan system kekerabatan keluarga juga berdasarkan
ikatan emosional kekeluargaan. Dan bukan berdasarkan perhitungan matematis dan
proporsional, tetapi biasanya dikarenakan orang tua bersifat adil kepada anak –
anak nya dalam pembagian harta warisan.
Dalam masyarakat Batak non-parmalim (yang sudah bercampur dengan budaya dari luar), hal itu
juga dimungkinkan terjadi. Meskipun besaran harta warisan yang diberikan kepada
anak perempuan sangat bergantung pada situasi, daerah, pelaku, doktrin agama
dianut dalam keluarga serta kepentingan keluarga. Apalagi ada sebagian orang
yang lebih memilih untuk menggunakan hukum perdata dalam hal pembagian
warisannya.
Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan
dengan hak anak kandung. Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat,
harus melewati proses adat tertentu. Yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah
sah secara adat menjadi marga dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada
beberapa jenis harta yang tidak dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak
angkat yaitu Pusaka turun – temurun keluarga. Karena yang berhak memperoleh
pusaka turun-temurun keluarga adalah keturunan asli dari orang yang mewariskan.
Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak)
jelas di sana diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal
pembagian harta warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma
pauseang), Nasi Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah
sekadar (Hauma Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan Kuno,
peraturan adat – istiadatnya lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu
ditunjukkan dalam pewarisan, anak perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang
paling banyak dalam mendapat warisan adalah anak Bungsu atau disebut Siapudan. Yaitu berupa Tanak Pusaka,
Rumah Induk atau Rumah peninggalan Orang tua dan harta yang lain nya dibagi
rata oleh semua anak laki – laki nya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk
pergi meninggalkan kampong halaman nya, karena anak Siapudan tersebut sudah
dianggap sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala
Kampung, maka itu Turun kepada Anak Bungsunya (Siapudan).
Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki
maka hartanya jatuh ke tangan saudara ayahnya. Sementara anak perempuannya
tidak mendapatkan apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur
bahwa saudara ayah yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala
kebutuhan anak perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.
Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat
tersebut tidak lagi banyak dilakukan oleh masyarakat batak. Khususnya yang
sudah merantau dan berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional
yang dianggap lebih adil bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender
dan persamaan hak antara laki – laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam
masyarakat adat Batak Toba saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang
ingin memberikan warisan. Jadi hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di
kampung atau daerah lah yang masih menggunakan waris adat seperti di atas.
Beberapa hal positif yang dapat disimpulkan dari hukum waris adat dalam suku
Batak Toba yaitu laki-laki bertanggung jawab melindungi keluarganya, hubungan
kekerabatan dalam suku batak tidak akan pernah putus karena adanya marga dan
warisan yang menggambarkan keturunan keluarga tersebut. Dimana pun orang batak
berada adat istiadat (partuturan)
tidak akan pernah hilang.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Dikarenakan system kekerabatan yang digunakan masyarakat
batak toba adalah system patrilineal, maka warisan lebih dominan diberikan
kepada anak laki-laki. Sedangkan anak perempuan mendapat warisan berupa hibah
dari suaminya.
2.
Saran
Bagaimanapun system pembagian warisnya, masyarakat
batak toba hendaknya mengikuti aturan-aturan adat yang telah ditentukan.
Sehingga tidak terjadi perpecahan dan perselisihan mengenai pembagian waris.
Dan agar tetap terjaganya kebudayaan batak toba di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar